NASIONAL – Sebuah studi terbaru dari kolaborasi ilmuwan Israel dan Jerman memperkirakan bahwa perubahan iklim akan memengaruhi potensi energi angin di kawasan Timur Tengah. Penelitian yang dipublikasikan pada Jumat (23/5) di jurnal Climatic Change ini menunjukkan bahwa meskipun angin di permukaan tanah bisa semakin kencang, angin di ketinggian turbin justru akan melemah.
Menurut studi tersebut, pada tahun 2070 embusan angin di permukaan wilayah pesisir dapat meningkat hingga 0,7 meter per detik. Peningkatan ini berpotensi membantu mengurangi suhu ekstrem di kawasan tersebut. Namun, di sisi lain, angin pada ketinggian sekitar 150 meter—tinggi ideal bagi turbin angin—diprediksi akan melambat hingga 1,0 meter per detik akibat perubahan sistem cuaca regional.
Penurunan kecepatan angin ini dapat menyebabkan penurunan produksi energi hingga 7 gigajoule dalam waktu enam jam. Sebagai perbandingan, satu gigajoule setara dengan 277,8 kilowatt-jam (kWh). Dampak ini tentu akan berpengaruh besar terhadap perencanaan dan investasi proyek energi terbarukan di masa depan.
Peneliti juga menekankan pentingnya menganalisis pola angin pada berbagai ketinggian, bukan hanya di permukaan. Jika tidak, perhitungan potensi energi angin bisa meleset dan berujung pada kerugian ekonomi dan kelangkaan energi.
“Setiap wilayah memiliki karakteristik angin yang berbeda, terutama di Timur Tengah. Karena itu, pendekatan berbasis data lokal sangat penting,” tulis studi tersebut.
Para penulis juga mendesak para pengambil kebijakan untuk mempertimbangkan tren perubahan angin dalam strategi energi nasional. Studi tersebut merekomendasikan agar fokus diberikan pada proyek-proyek energi angin yang tahan terhadap perubahan iklim, terutama di wilayah dengan potensi tinggi seperti pesisir Laut Merah.
